Sabtu, 28 Maret 2015

Siapa Mencintai Nyawa akan Kehilangan Nyawanya

KEBAKTIAN KOMISI PEMUDA 22 Maret 2015 pk 09.30 WIB - GKI JL PENGADILAN NO 35, BOGOR
Pelayan Firman: Pdt. Esakatri Parahita
Bacaan Alkitab: Yohanes 12: 20 – 33

Selamat hari Minggu pagi, all! Telat ngeposting lagi nih aku, huhuhu.. Padahal di minggu-minggu Pra Paskah ini, khotbahnya spesial semua lho.. Maap yah.. Tanggal 22 kemaren, khotbahnya mengenai bacaan di Injil Yohanes 12 yang menurut aku jarang dipakai untuk khotbah di masa Pra Paskah. Well, firman Tuhan Yesus di pasal ini berat yah, karena kalimat yang Dia firmankan itu maknanya luas dan ga bisa sembarangan ditelen tanpa minta hikmat dari Tuhan. Sharing dikit yah, aku tertohok di ayat 24, “Aku berkata kepadamu, “Sesungguhnya, jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja, tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah,”” Sebagai orang yang pernah belajar biologi, aku sedikit banyak tahu tentang pertumbuhan tumbuhan monokotil macam gandum ini. Okay, kita nggak akan ngebahas tentang gimana gandum itu tumbuh dan berbuah, tapi intinya adalah tentang pengorbanan yang ‘dilakukan’ mas/mbak gandum ini.

Berkorban/ngalah merupakan hal yang jarang banget mau dilakukan oleh orang jaman sekarang.
Menang is everything. Nggak mesti menang kompetisi, menang ngomong aja itu udah suatu keharusan. “Gue nggak boleh terlihat nggak gaul/keren dibandingin lawan bicara gue ini meski dia baru gue kenal” merupakan sifat dasar manusia. Kadang aku juga begitu, ada temen yang kalo ngomong selalu nyeritain dia udah sering ke luar negeri sedangkan aku cuma bengong dengerin ceritanya tentang keindahan dan kerapihan negara luar dibandingin Indonesia. Lalu timbul deh rasa iri dan pengen ngeskak mat dia dengan ‘kekerenan’ aku yang dia nggak punya. Itu sama sekali nggak mencerminkan sifat anak Tuhan. Cuma nimbulin rasa iri hati baru di hati si temen aku ini. Useless.

Dari sifat selalu pengen menang ini, muncul deh sifat manusia mengenai kekecewaan. Kecewa kalo dia kalah ngomong, kecewa kalo ada orang lain di atas standarnya dia, kecewa kenapa masalah selalu hinggap di kehidupannya, kecewa karena macem-macem. Aku join sosial media Twitter dan follow akun yang isinya foto-foto dan meme lucu yaitu akun 9GAG. Suatu hari ada foto handphone merek iPhone 6 warna putih yang mahal banget dengan layar yang udah retak. Disitu ditulis kalau si pemilik handphone ini adalah seorang remaja yang marah sama orangtuanya karena nggak bisa ngebeliin iPhone 6 warna hitam. Duh, orang lain ada yang bisa makan sekali sehari aja udah bersyukur banget, ini kok malah marah dan ngehancurin handphone mahal yang orangtuanya udah beliin dengan susah payah. Itulah mental korban yang manusia duniawi terus pelihara. Selalu berpikir bahwa ia yang jadi korban. Kita, meski nggak selebay remaja di Twitter tadi, pasti tanpa disadari sering ber-‘mental korban’ juga. Mengasihani diri sendiri, menganggap beban kita selalu lebih berat dari orang lain. Temen kantorku ada yang pernah bilang, “Halah, kerjaan lo kayak gitu doang, itu mah gampang banget!” Terus aku kan sakit hati ya, aku jadi mikir, “Coba lo kerjain deh kerjaan gue, bisa nggak?” Pikiran kayak gini kan berkesan sok dan nggak bersyukur. Seharusnya saat itu aku mikir, “Iyayah, kerjaan ini kan seharusnya gampang, orang lain aja ngeliatnya gitu, jadi aku harus belajar dan nemuin cara yang lebih efektif supaya bisa ngerjainnya dengan cepet dan optimal!” Kalo seperti itu kan aku jadi nggak ber-‘mental korban’.

Lawannya mental korban adalah mental kurban. Cuma beda satu huruf, tapi maknanya dalem. Mental kurban alias sacrifice tidak pernah menyalahkan pihak lain atau pointing someone. Biarpun ada masalah, selalu bisa menganggap bahwa masalah itu nggak pernah Tuhan bikin untuk menyakiti kita, sebaliknya, masalah itu Ia biarkan menimpa kita agar kita lebih dekat dan bergantung padaNya. Dengan begitu kita memuliakan namaNya. Masalah yang kita hadapi bisa selesai karena kita meminta pada Tuhan, terus orang lain yang lihatnya jadi ikut memuji nama Tuhan. Ini yang namanya penginjiilan lewat tindakan. Sebagai pengikut Kristus (Kristen), acuan utama kita adalah Tuhan Yesus, panduan kita adalah Firman Tuhan. Di ayat 26, tertulis bahwa kita harus mengikut Yesus yang memberi hidupNya untuk manusia. Dia nggak sayang-sayangin nyawanya sendiri supaya manusia diselamatkan. Duh, kalau orang biasa mah ogah banget ngasih nyawanya untuk orang lain. Ngedonorin  mata atau ginjal buat keluarga sendiri banyak orang yang masih mikir-mikir (jangan samain sama film-film Korea ya, itu kan cuma film), apalagi kasih nyawanya sendiri. Mental kurban mengacu pada Tuhan, semuanya untuk Tuhan. Tidak ada kata ‘ini buat aku’ dalam karakter/mental kurban. Seringkali ada orang yang menganggap dirinya sudah berkurban banyak dalam pelayanan. Kurban waktu, tenaga, duit, padahal dia mengharapkan pujian di balik semua itu. Dia mengharapkan ada record untuk nanti dia bisa apply beasiswa ke universitas keren bila dia berbulan-bulan menjadi pengajar gratis di kampung yang tak tersentuh. Dia mengharapkan orang melihat dia keren dan hebat bila ngasih tempat duduk buat nenek-nenek di kereta yang desek-desekkan. Bahkan dia mengharapkan masuk surga saat dia melayani di gereja bertahun-tahun tanpa bayaran! Kenapa? Emangnya orang nggak boleh berharap seperti itu? Ada yang kamu lupakan, teman. Upahmu telah dibayar LUNAS di kayu salib. Berkurbanlah dengan pikiran ini untuk Tuhan karena Ia terlebih dulu mengasihi kita dengan sangat luar biasa hebatnya. Taatlah seperti Yesus yang mau mengurbankan nyawaNya (cek ayat 27). Taat tanpa bilang, “Tapi kan, Tuhan..”

Jesus bless you.


Soundtrack:  ALLAH YANG SETIA (by Jonathan Prawira dan Joseph S Djafar)

YESUS, KAU TELAH MEMULAI
S'GALA YANG BAIK DALAMKU
ENGKAU MENJADIKANKU
SERUPA GAMBARAN-MU
DAN BERHARGA DI MATA-MU
 
YESUS, KAU TELAH MEMULAI
KARYA YANG MULIA DALAMKU
KAU BERIKAN HIDUP-MU
S'BAGAI GANTI DOSAKU
KAR'NA KASIH-MU PADAKU

REFF:
S'KARANG KUMEMUJI-MU
ALLAH YANG SETIA
YANG TAK PERNAH MENINGGALKAN
PERBUATAN TANGAN-MU

S'KARANG KUMENYEMBAH-MU
ALLAH YANG MULIA
SEMPURNAKAN SEG'NAP HIDUPKU
AGAR INDAH BAGI-MU

Minggu, 15 Maret 2015

Merayakan Hidup dalam Anugerah KemuliaanNya

KEBAKTIAN KOMISI PEMUDA 15 Maret 2015 pk 09.30 WIB - GKI JL PENGADILAN NO 35, BOGOR
Pelayan Firman: Pdt. Budiman – GKI Bandar Lampung  
Bacaan Alkitab: Bilangan 21: 4 – 9; Yohanes 3: 14 – 21

Selamat hari Minggu, blessed Readers! Khotbah yang saya dengar dan renungkan siang ini membicarakan tentang merayakan hidup. Kedengarannya tak berhubungan dengan Paskah ya, tapi kalau diperluas, sebenarnya ada hubungannya. Kita akan bahas nanti. Manusia, contohnya saya, pasti berpikir bagaimana cara agar hari demi hari yang kita lalui ini tidak berlalu dengan sia-sia, tapi menghasilkan sesuatu. Ada juga yang berpikir, yah jalanin aja dulu (ini kalimat anak SMP or SMA jaman sekarang yang paling sering dilontarkan saat pacaran dan pasangannya nanya, “Ntar ke depannya kita gimana?” – kalimat orang yang males mikir), jadi nikmati hidup sebagaimana adanya.

Dalam kehidupan, kita ditantang untuk merenungkan makna hidup, apakah hanya sekedar hidup melalui hal-hal spektakuler tanpa berusaha mencari tahu apa maknanya. Dengan memaknai hidup, kita jadi tahu tujuan hidup kita di dunia ini. Memaknainya dengan cara melihat hal-hal kecil yang diberikan Tuhan sebagai suatu berkat. Ada nggak yang setiap bangun pagi langsung mikir, terimakasih Tuhan, saya bangun pagi ini dengan normal dan masih diberikan nafas kehidupan olehMu, ada nggak? Bahkan hal-hal yang menurut kita tidak menyenangkan sekalipun, bisa kita renungkan sebagai hal yang patut kita syukuri pada Tuhan. Pendeknya, positive thinking. Orang ngebut di jalanan nyalip kendaraan kita, lalu kita tidak langsung memaki-maki dalam atau luar hati, tapi kita mikir, mungkin dia buru-buru, istrinya sakit mendadak, atau anaknya udah 2 jam nungguin dijemput, atau orang tuanya perlu pakai mobil/motor yang sedang dia kendarai, dsb dsb. Dengan demikian, apa yang kita dapat? Damai sejahtera di hati kitalah upahnya.

Coba deh iseng hitung dalam 1 hari, berapa keluhan yang kita keluarkan? Lalu pikirkan, apa sih yang membuat kita mengeluh? Biasanya sih karena kita tidak melihat berkat dan kasih Tuhan dalam tiap masalah, kegagalan, atau kekecewaan yang kita hadapi. Jika kita menerima berkat yang orang duniawi lihatnya sebagai keberhasilan, kesuksesan, kemampuan mengatasi masalah, kekayaan, dll, kerap kali kita lupa siapa Pemberi semuanya itu. Seorang penulis bernama Ayu Utami sempat berdebat dengan editornya kala ia menuliskan kalimat “Padaku ada sesuatu” di bukunya. Sang editor ingin mengubahnya menjadi “Aku punya sesuatu” karena dirasa maknanya sama saja dan kalimat “Padaku ada sesuatu” dirasakan agak kuno dan membingungkan. Namun Ayu berkeras karena 2 kalimat tersebut berbeda makna. “Aku punya sesuatu” melambangkan kitalah subjek dan tokoh utamanya, yang kita miliki sekarang memang hak kita dan kita pantas memilikinya, tak ada kerendah hatian dalam kalimat ini. Sedangkan kalimat “Padaku ada sesuatu” bermakna yang aku miliki ini merupakan pemberian. Dengan mengubah cara pandang kita bahwa kehidupan yang kita jalani ini semuanya dari Tuhan, di situlah kita merayakan hidup. Baca deh Efesus 2: 1 – 10 untuk perbandingan.

Dalam bacaan kita tentang petualangan bangsa Israel bersama Musa, kita melihat bahwa saat bangsa Israel bersungut-sungut, Tuhan mengirimkan ular tedung untuk memagut mereka sampai mati. Lalu Musa memohon agar Tuhan mengampuni mereka dan Tuhan memerintahkan Musa membuat ular dari tembaga yang memiliki 2 fungsi, pertama menyembuhkan (orang yang lihat ular tembaga itu tidak akan mati karena gigitan ular tedung) dan yang kedua, mengingatkan bangsa Israel bahwa keselamatan datangnya hanya dari Tuhan. Maknailah hidup kita sebagai anugerah dan keselamatan dari Tuhan, terutama mengingat dan bersyukur bahwa keselamatan itu datangnya dari pengorbanan dan kebangkitan Tuhan Yesus di kayu salib yang akan kita peringati dan rayakan saat Paskah nanti. Apresiasikan hidup ini dengan bersyukur pada Tuhan dan melakukan apa yang menyenangkan hatiNya. GBU all.

Minggu, 08 Maret 2015

Dibaptis dan Dicobai Agar Siap Memberitakan Injil

KEBAKTIAN KOMISI PEMUDA 01 Maret 2015 pk 09.30 WIB - GKI JL PENGADILAN NO 35, BOGOR
Pelayan Firman: Bpk. Bing Ananta Andimulia    
Bacaan Alkitab: Markus 1: 9 – 15

Selamat malam. Di postingan sebelumnya, aku menulis catatan khotbah dengan tema yang sama. Itu dari kebaktian sore, yang ini dari kebaktian Pemuda di siang hari. Dari bacaan Alkitab di kitab Injil Markus, kita dapat melihat persiapan Yesus sebelum Ia berkarya. Ada 4 poin yang dirangkum dalam hal ini:

1.       Tekad yang kuat
Tekad menentukan kemana arah kita melangkah. Faktor dari tekad adalah ketaatan, terutama ketaatan terhadap Tuhan. Maksudnya apa sih? Maksudnya gini, contohnya ya, kalau kita mau jadi pemain piano yang hebat, kita pasti cari tahu dulu apa aja yang harus kita lakukan. Yang pertama, punya piano untuk dimainin (entah beli atau minjem), trus baca buku tentang piano, trus latihan tiap hari bukannya latihan kalo ada waktu aja, dll. Kita taat pada prosedur untuk menjadi pianis hebat. Begitu juga dengan pelayanan, tekad seseorang untuk melayani diawali dengan ketaatan pada Tuhan. Pikirnya, ini semua untuk menyenangkan dan memuliakan Tuhan, supaya orang lain yang tadinya nggak kenal Tuhan jadi tahu siapa Tuhan dan juga tahu tentang keselamatan yang telah Yesus berikan secara cuma-cuma buat kita semua.

2.       Belajar rendah hati
Tuhan Yesus dibaptis oleh orang yang seumuran dan kalo bisa dibilang, levelnya ‘lebih rendah’ dari Dia. Orang-orang yang dibaptis oleh Yohanes adalah orang yang berdosa, bisa jadi orang lain menganggap Yesus termasuk orag berdosa juga makanya mau dibaptis. Kerendah hatian Yesus ditunjukkan dengan kemauanNya untuk disamakan dengan orang berdosa. Ia mau melakukan pembaptisan ini agar genap rencana Tuhan. Baptis adalah pengakuan bahwa kita mau ikut Tuhan. Banyak orang mengharapkan seseorang melakukan hal spektakuler setelah dibaptis. Tidak ada perubahan secara fisik setelah seseorang dibaptis, tapi dari komitmen yang telah diucapkan, seharusnya ada yang berubah. Salah satunya adalah pendewasaan iman.

3.       Pembaruan iman
Yesus berpuasa 40 hari di padang gurun yang identik dengan tempat untuk retreat dan juga tempat pencobaan. ‘Padang gurun’ kita adalah lingkungan dimana kita berada saat ini. Berhadapan dengan berbagai tipe orang yang memiliki karakter berbeda, seringkali menjadi cobaan bagi kita. Begitu juga dengan kemajuan jaman yang ‘mengharuskan’ kita melakukan ini itu yang nggak sesuai dengan Firman Tuhan, itu juga bisa menjadi salah satu cobaan bagi kita. Aku sering sekali bertemu orang dengan karakter yang ngeselin. Misalnya yang kalo ngomong itu blak-blakan dan nyakitin. Gini-gini aku orangnya sensitif lho, hehehe.. Lalu karena udah keterlaluan, si orang ini ditegur sama orang lain. Bukannya menerima teguran dan nasehat, orang ini malah bilang “Cara ngomong gue emang kayak gini, terserah lo mau nerima apa nggak.” Dari sisi orang ini, dia memperlihatkan bahwa dia susah untuk maju ke arah positif. Dari sisi kita sebagai orang percaya, kita jangan sampai terpengaruh dan membenci sesama kita. Harusnya kita membawa dia lebih dekat lagi dengan Tuhan. Perlihatkan kemampuan kita sebagai ‘garam dan terang’ (dengan bantuan Roh Kudus tentunya). Berdoa meminta pertolongan Tuhan untuk dijauhkan dari rasa benci (misalnya) membuat iman kita diupdate setiap hari. Yakin deh, kita bisa menuju arah yang lebih baik.

4.       Hidup dalam Firman Tuhan
Fungsi Firman Tuhan sebagai penguat kita saat sedang dalam pencobaan telah dibuktikan ribuan tahun yang lalu saat Yesus dicobai iblis. Dengan Firman Tuhan yang sudah melekat dalam hatiNya, ia mampu mengalahkan si pencoba ini. Salah satu teladan yang Tuhan Yesus perlihatkan ini harusnya bisa membuat kita lebih penasaran lagi dengan Firman Tuhan. Gali terus apa yang ada dalam Alkitab, jangan hanya sekedar membaca dan selesai. Minta hikmat dari Tuhan agar setiap kalimat di Alkitab yang sudah kita baca, dapat menjadi panduan kita dalam bermasyarakat, dalam berpikir, dalam berkata-kata, dan dalam bertindak. Juga bila ada kalimat di Alkitab yang dirasa susah dipahami, jangan diam saja dan membiarkan Firman itu lewat begitu saja di otak kita, tapi cari tahu sampai ketemu pemahaman sebenarnya. Googling, tanya-tanya, baca buku lain, atau samperin pendeta di gereja untuk menanyakan ayat itu. Sangat disayangkan bila ayat yang kita baca lewat begitu saja. Jadikanlah firman itu sebagai guide book dalam kehidupan kita, bukannya buku teks kuliah yang harus kita hafalkan supaya bisa lulus.

Dibaptis dan Dicobai Agar Siap Memberitakan Injil

KEBAKTIAN UMUM 01 Maret 2015 pk 17.00 WIB - GKI JL PENGADILAN NO 35, BOGOR
Pelayan Firman: Bpk. Sri Handoko          
Bacaan Alkitab: Markus 1: 9 – 15

Hai. Kembali lagi niy, hehehe.. DI hari Minggu awal Maret ini, tema kebaktiannya tentang persiapan Tuhan Yesus sebelum Ia melakukan tugas-tugasnya di dunia ini. Pola yang Ia lakuakn untuk mewujudkan visi dan misiNya dimulai dengan kesungguhan. Contoh kesungguhan pelayananNya adalah dengan melakukan perjalanan dari Nazaret ke Sungai Yordan yang jaraknya mayan jauh. Terdapat semangat dalam hal ini, sehingga itu menjadi teladan buat kita dalam kehidupan bergereja. Kemudian pembaptisan yang Ia lakukan. Baptis identik dengan pertobatan, ada sesuatu yang kotor dari diri seseorang yang dibaptis itu untuk dibasuh dan dibersihkan. Dalam hal ini terlihat ada suatu kepatuhan dan ketertundukan Yesus agar rencana Tuhan terjadi.

Dari pola yang Yesus lakukan, kita dapat belajar tentang kerendah hatian saat memberitakan Injil. Tidak berlindung di bawah kekuasaan kita (dalam hal ini kesombongan), tetapi terus menjadi teladan bagi orang lain. Aku melihat beberapa contoh ‘kasus’ dimana sebagian orang bersikap seolah-olah dialah yang memiliki gereja seutuhnya, tidak lagi berbagi dengan orang lain karena, misalnya, ia penyumbang terbesar dalam pembangunan gereja. Ia tidak langsung mengumumkan bahwa dialah bos gereja, tapi sikapnya yang tidak mau mendengarkan pendapat jemaat lain, atau memerintahkan orang dengan kalimat yang ‘bossy’ dan membuat orang lain sakit hati, bahkan marah bila ia tidak dilibatkan dalam suatu kegiatan merupakan sikap yang melukai hati Tuhan. Gereja bukan perusahaan. Itu yang harus dicamkan.

Dalam keadaan tak berdaya maupun berkuasa, kita takkan luput dari cobaan. Hasilnya bisa dua: lolos dari cobaan itu atau sebaliknya, nggak lolos sama sekali. Yesus yang lolos dari cobaan menggunakan cara yang tidak mengandalkan kemampuan sendiri, tapi taat dengan kehendak Tuhan, yaitu hidup dalam kebenaran FirmanNya. Bagaimana dengan kita? Seringkali kita menggunakan firman Tuhan untuk kepentingan sendiri. Yang penting tujuan kita tercapat, bukan tujuan dan kehendak Tuhan yang kita prioritaskan.

Setelah dicobai, Yesus kembali ke Galilea untuk memberitakan Injil . Tujuan Injil adalah agar orang bisa berubah/berbalik kepada Tuhan. Kita diingatkan untuk kembali kepada Tuhan. Nggak harus menjadi pendeta atau misionaris di hutan-hutan yang penuh dengan masyarakat kanibal, tetapi dalam kehidupan bermasyarakat yang sekarang ini, kita bisa menjadi sang penabur benih Injil. Komitmen kita diawali dengan baptis dan sidi, namun apakah setelah kita baptis/sidi, keluar gereja kita langsung jadi orang suci mahakudus? Ya nggak. Sebagai pengikut Kristus yang imannya selalu berproses dari hari ke hari, komitmen yang kita ucapkan saat baptis/sidi harus kita ingat terus agar jangan sampai kita terlena akan cobaan yang datang. Minta kuasa Tuhan agar Roh Kudus selalu menyertai kita, dan supaya kita taat dan menggunakan Firman Tuhan dalam kehidupan kita, nggak cuma sekedar tahu saja.